Selasa, 07 Desember 2010

Konstruksi Imajinasi

Telah sampai pada penghujung
Titik nadir berkecimpung
Sukma jiwa terbutakan
Logika sadar termatikan

Aku berdiri di padang
Padang penuh aral melintang
Padang yang membimbingku pada kerancuan
Kerancuan sebagai pertanda untuk jauh, jauh, dan semakin jauh

Aku melayang
Terombang-ambing birunya angkasa
Terimajinasi violet cakrawala
Aku terdiam

Aku tak berdaya
Otakku tak berupaya
Hatiku tak berasa
Aku tak biasa

Satu hentakan tersambar
Aku pun mengumbar
Mengumbar aksara
Aksara terkandung bara

Aku heran
Aku menahan
Aku bercermin
Dan aku tersadar

Oh.. Tuhan, ternyata aku bermimpi buruk

Selasa, 13 Juli 2010

Campur Tangan Elit !

Oleh : Satria Aji Imawan

Alih-alih memberikan keuntungan, justru nyawa melayang. Ungkapan ini cukup kiranya menggambarkan tragedi meledaknya tabung gas 3 kilogram di beberapa daerah. Situasi ini diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak tegas mengevaluasi kebijakan elpiji.

Apabila kita meruntut lebih jauh, persoalan ini tidak lepas dari pengelolaan sumber daya dalam politik. Status pertamina sebagai badan usaha di bawah negara menjadi lahan empuk bagi para elit untuk memutar uang sebagai instrumen perekrut kekuasaan. Terdapat beberapa pokok yang harus diperhatikan untuk dapat mengurai persoalan ini.

Pertama, kebijakan tabung 3 kilogram pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintahan periode lalu (SBY-JK). Masih terngiang dalam ingatan kita bahwa kebijakan ini mendapat banyak kritikan karena memaksa rakyat merubah penggunaan kayu menjadi gas. Sayangnya perubahan ini terlalu drastis, banyak masyarakat tidak memahami penggunaan tabung gas dikarenakan sosialisasi yang kurang.

Kedua, kebijakan tabung gas 3 kilogram banyak dinilai sangat profit oriented. Hal ini terlihat dari rendahnya standar setiap produk.

Ketiga, kebijakan ini menguntungkan elit. Politik dapat dipahami dengan melihat kemampuan aktor-aktor dalam menguasai sumber daya yang ada guna menghasilkan uang sebagai instrumen politik. Pemahaman ini membawa kita pada pengertian bahwa politik tidak bisa lepas dari bisnis. Indikasinya cukup jelas dengan dipilihnya kebijakan tabung 3 kilogram dibandingkan pengembangan energi alternatif seperti menggunakan panas bumi (metana).

Rentetan persoalan ini berawal dari buruknya proses pembuatan kebijakan publik. Pemerintah tidak dapat berbuat banyak karena kepentingan bisnis melingkupi hulu hilir LPG 3 kilogram. Sekali tiga uang DPR tidak banyak berkomentar terkait persoalan tersebut. Realitas ini menunjukkan bahwa baik DPR maupun pemerintah memiliki satu suara demi kepentingan yang sama.

Persoalannya, rakyat lagi-lagi dirugikan dengan kepentingan-kepentingan elit. Situasi ini dapat diredam apabila pembuatan kebijakan bersifat partisipatoris. Artinya, kebijakan melibatkan masyarakat dari proses perumusan hingga proses evaluasi.

Rasanya cukup sulit mengharapkan proses transparansi dalam tubuh pertamina maupun badan usaha milik negara lainnya. Lihat saja, bagaimana kasus-kasus pada lembaga-lembaga pemerintah atau di bawah pemerintah menyeruak akhir-akhir ini. Masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus dalam Departemen Pajak yang melahirkan aktor Gayus Tambunan hingga kasus tabung elpiji.

Satu-satunya harapan adalah memperbaiki proses pembuatan kebijakan dengan memperkuat kelompok-kelompok masyarakat, LSM-LSM, maupun pengusaha-pengusahan kecil menengah. Ketiga aktor ini seringkali menjadi jalur untuk mensukseskan kebijakan publik, namun seringkali merekalah yang menjadi sasaran bidak pertama apabila ada kegagalan kebijakan.

Posisi mereka harus diperkuat untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan diikutkan dalam proses pembuatan kebijakan yang partisipatif. Proses terbuka ini akan melahirkan pemerintahan yang akuntabel, dipercaya, dan transparan.

Kerugian ini tidak hanya milik publik tetapi juga menjadi milik elit. Bungkamnya para wakil rakyat terhadap persoalan ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam representasi politik. Masih ingat dalam ingatan kita, bagaimana para wakil rakyat lolos dengan suara terbanyak pada Pemilu lalu. Apabila benar adanya maka dapat dikatakan para wakil rakyat mengkhianati nurani yang memilihnya dan lebih berpihak kepada elit.

Rakyat bukanlah kelinci percobaan untuk kebijakan yang bersifat trial and error. Kebijakan yang membebani rakyat bahkan hingga menghilangkan nyawa merupakan kebijakan salah alamat. Ingat, konstitusi kita menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan bagi demokrasi Indonesia. Kebijakan partisipatif dapat menjadi alternatif guna menyambut keraguan publik.

Selasa, 06 Juli 2010

I'm (not) alone, You're (not) alone, We're (not) alone

1 Mei 2010, malam minggu.

Malam dengan bulan yang indah. Seakan menampakkan kebesaran tata surya dan seolah mengatakan kepada dunia, ''hey, lihatlah ke atas! Kau tidak sendirian bumi!''. Jauh meneropong ke bawah, orang-orang menghabiskan akhir pekan mereka dengan caranya. Ironis, ketika melihat ada seorang pemuda yang menghabiskan weekendnya di sebuah angkringan. Itulah saya.

''Eh, Ajik. Seko endi jik? Ngombe opo ki?'' sapa Mas Kelik, pemilik gerobak angkringan. Sapaan tersebut sering diucapkan, namun setiap saya mendengarnya timbul senyuman dan melepas sedikit lelah saya hari itu setelah beberapa jam yang lalu mengikuti suatu acara. ''Es teh mas'' saya berkata demikian dan langsung mengambil tempat duduk favorit saya di sebelah tempat pembakaran. Lagu-lagu Coldplay sengaja saya dengarkan karna memang teman-teman belum datang. Life In Technicolor II, Fix You, The Scientist, Viva La Vida berturut-turut saya putar. Saya pun larut dalam suasana itu dan timbul sebuah pemikiran spontan. Adalah suatu keadaan tak wajar bagi kebanyakan anak muda ini, pikiran saya merujuk kepada saya sendiri. Saya pun merasa sendiri, memang ada mas Kelik tapi dia lebih sibuk dengan dagangannya.

Saya berada pada keadaan yang mengasingkan diri dari keramaian. Keadaan yang mungkin menimbulkan anggapan agak kurang hype, gaul, update, atau apapun namanya. Saya kurang peduli dengan apa yang dikatakan orang-orang jika menganggap demikian. Saya tidak suka keramaian yang berlebihan, saya suka kesepian namun bukan kesendirian dan saya bukan anti sosial. Kesepian bagi saya mendamaikan tapi kesendirian itu menyesakkan. Cukup lama sudah saya terduduk di atap terpal oranye, asap bakaran khas Mas Kelik, dan sapaan berbeda-beda Mas Kelik dalam menyapa pelanggan atau pembeli. Sejenak Mas Kelik berkata, ''sori lho jik lagi repot, penakke'' dan saya hanya bilang, ''santai wae mas''. Bagi saya, justru posisi saya yang salah. Saya sudah cukup lama disini dan tidak membeli cukup banyak jajanan. Sehingga hanya memenuhi ruang saja.

Detik, menit berlalu. Saya sudah pasrah akan mengakhiri malam ini dengan kesendirian. Sejenak saya berpikiran skeptis bahwa orang selalu ada untuk kita ketika dia membutuhkan sesuatu dari kita. Bahwa orang (apapun karakternya) selalu memiliki sifat egois. Terus menerus saya dihantui pemikiran spontan yang jelek. ''saya sendiri, saya menyedihkan, saya memuakkan, saya tolol'' begitulah. Dan, akhirnya sebuah telpon masuk dari Didi, teman saya di SKM Bul. ''jik, kamu jadi ikut kita, ga? Kita mau ke Mas Kelik'' dan saya pun hanya tersenyum, ''aku udah disini kali, di''. ''oh, okay. Kita mau otw nih, ketemu disana ya''. Tut, tut, tut..telepon telah ditutup. Well, telepon tadi membuat saya mengurungkan niat untuk pulang. Telepon tadi cukup membuat saya tersenyum dan spontan, saya kembali berpikir.

''manusia bisa dikatakan tolol, manusia bisa dikatakan menyedihkan, manusia bisa dikatakan memuakkan''. Setiap orang bisa berpendapat apapun. Saya juga bisa dianggap demikian, namun ada satu hal yang salah, ''manusia tidak sendiri''. Tidak ada manusia yang hidup sendiri. Kesendirian tercipta karena pikiran kita yang menganggap demikian. Lalu, saya tersenyum menyadari kekonyolan saya. Mungkin benar Mas Kelik tidak cukup berinteraksi dengan saya karna dia sibuk dengan dagangannya. Mungkin benar saya tidak kenal setiap pelanggan Mas Kelik sehingga saya tidak berinteraksi. Mungkin benar saya tidak bisa berinteraksi dengan kucing yang ada disitu. Namun, apakah benar hal itu membuat saya menjadi sendiri? Tidak! Saya menjadi seperti itu karna pikiran saya, karna perasaan saya. Kita hanya tidak berinteraksi dan itu bukan alasan bagi saya untuk merasa sendiri. Saya bergegas keluar cangkangan terpal, memejamkan mata, hening, dan berkata dalam hati, ''Astaghfirullah Ya Tuhan, betapa sempitnya pemikiran saya. Terima Kasih Ya Tuhan. Engkau pemilik segala jenis pemikiran''.

Menit berlalu dan keheningan saya tersentak ketika teman-teman datang dan menyapa, ''woi jik!''. Lagi-lagi saya tersenyum dan menyadari betapa indahnya persahabatan. Okay, malam ini boleh menjadi malam tersepi yang saya lalui, tapi malam ini bukan malam tersendiri dan tidak akan pernah tersendiri dalam hidup saya.

''It's because I'm not alone, You're not alone, and We're not alone. We live in the BIG world guys''

Minggu, 07 Maret 2010

That's I called Life..


Dipilih dan memilih, dua kata yang kontras. Memilih merupakan suatu keputusan yang kita kehendaki. Sedangkan, dipilih merupakan sebuah anugerah dari seseorang yang memilih. Dalam hidup, manusia dianugerahi oleh Tuhan untuk memilih. Karenanya, hidup manusia merupakan sebuah pilihan. Manusia bebas untuk menjalani kehidupan ini dengan cara yang baik, buruk, atau setengah baik setengah buruk. Itu pilihan hidup dan manusia punya kuasa untuk memilihnya.

Sejak lahir pun manusia telah dihamparkan pada berbagai pilihan. Dalam hal karier, sejak kanak-kanak manusia diberi peta tentang sebuah profesi atau pekerjaan (umumnya dokter dan pilot). Muncullah apa yang dinamakan cita-cita yang kemudian menimbulkan semangat untuk bersekolah. Masa remaja (Teens), manusia sudah disuruh untuk memilih jalan karier yang akan ditempuhnya. Tidak asing kita dengan istilah penjurusan pada saat SMA yang selalu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) menjadi nilai gengsi. Lalu di perguruan tinggi yang semakin prestisius terkait dengan nama jurusan atau fakultas bahkan nama universitas. Beranjak dewasa (Adult), manusia diberi pilihan untuk merintis karier tersebut dengan cara bekerja. Dalam bekerja pun banyak pilihan profesi atau pekerjaan. Hingga beranjak tua, manusia tetap dihadapkan pada pilihan apakah akan menikmati hidup hari tua atau tetap bersibuk ria seperti berwirausaha.

Sayangnya, hidup juga merupakan sesuatu yang dipilih. Dilahirkan oleh siapa, dimana, kapan, di dalam suku ras apa itu semua merupakan hal-hal yang dipilih oleh Tuhan. Banyak terdengar ratapan anak yang kurang mampu dengan mengatakan, ''coba aku dilahirkan di dalam keluarga yang kaya''. Atau yang mengatakan, ''coba aku dilahirkan sebagai orang bule atau indo. Pasti aku akan menjadi seseorang yang ganteng dan cantik''. Well, kita tidak pernah akan bisa mengubahnya. Itu merupakan nasib dan kita harus mensyukurinya. Klise memang tapi kita hanya bisa berusaha. Ratapan anak yang kurang mampu itu dapat dirubah dengan dia berusaha keras agar dia lebih sukses di masa depan. Orang yang menginginkan menjadi seorang bule dapat berpenampilan diri dalam hal berperilaku, sehingga dia dipuji oleh dunia terlepas dari fisiknya. Nasib berbeda dengan takdir. Bisa saja anak yang dilahirkan dengan keadaan nasib kurang mampu dapat menjadi orang terkaya di kemudian hari. Atau seseorang yang dilahirkan dalam nasib fisik yang kurang tetapi dia dipuji oleh dunia karena kepribadiannya yang santun dan bersahaja melebihi pujian yang diberikan kepada orang yang hanya memiliki keindahan fisik. Nasib itu mutlak, takdir itu bisa diubah.

Poin yang ingin saya share dengan teman-teman disini bahwa dimanapun anda hidup, syukurilah. Itu merupakan pemberian Tuhan, jangan disia-siakan. Percuma mengeluh terhadap nasib kita karena keluhan hanya akan membuat kita menghakimi dunia. Namun, berusahalah terhadap apa yang ada di dunia. Rubahlah semua yang bisa kita ubah untuk menjadi lebih baik. Di dunia ini tidak ada yang tidak dapat dilakukan, saya yakin itu. Seseorang yang bernasib buruk belum tentu mempunyai takdir yang buruk pula. Begitu juga seseorang yang bernasib baik belum tentu mempunyai takdir yang baik pula. Dunia itu penuh dengan kemungkinan. Biarkanlah nasib mengalir apa danya, tapi jangan biarkan takdir mengalir apa adanya.

*Lion's Spirit-SAI. Inspired from my life.

Jumat, 18 Desember 2009

Untitled #08

Hai guys! Bertemu lagi dengan saya, SAI dalam coretan. FYI! Notes ini menjadi yang kedelapan dan delapan itu, menurut saya merupakan angka keramat! (prok-prok-prok, haha). Baiklah, notes ke-8 kali ini saya khusus membicarakan mengenai masalah rasa, perasaan, dan sekitarnya. Jadi, disini saya akan sedikit melankolis namun tetap kritis.

Berbicara mengenai rasa, tidak jauh dari sesuatu yang disebut perasaan. Ketika kita merasakan tentang rasa & perasaan, tidak lepas dari organ manusia yang dinamakan hati. Rasa merupakan cerminan emosi seseorang dan emosi itu merupakan sesuatu yang labil, naik turun temponya. Dapat dikatakan rasa merupakan sesuatu yang abstrak, tak terduga. Rasa hanya bisa dirasakan, tak bisa dipikirkan. Sebab itulah yang membuat rasa menjadi sesuatu yang berjuta warnanya. Kadang rasa membuat kita menjadi sedih, gembira, hingga merasa marah. Di saat itulah, terkadang logika tidak berfungsi semestinya. Kita seolah-olah dibutakan oleh rasa yang menggiring kita larut dalam emosi. Kemudian perasaan emosi inilah yang diekspresikan dengan marah, menangis, hingga pada akhirnya mempengaruhi mood kita.

Uniknya, perasaan tidak mudah diungkapkan. Perasaan lebih mudah diekspresikan. Perasaan memang bermain pada tataran komunikasi non verbal. Inilah yang menyebabkan perasaan susah diterka, dimengerti. Butuh kepekaan dalam memahami perasaan. Dengan kepekaan, kita dapat memahami perasaan kita untuk kemudian kita mengontrolnya.

Sungguh merupakan anugerah yang indah bagi kita untuk memiliki rasa dan perasaan. Saya tidak bisa membayangkan jika semua orang di dunia ini tidak memiliki rasa dan perasaan. Wow, mungkin kita tak akan pernah melihat aksi solidaritaas, aksi protes, hingga kisah percintaan. Mungkin tidak ada peradaban manusia, karna Hawa pun diciptakan karena Tuhan mengerti Adam merasa kesepian, sendiri di bumi. Bahkan mungkin suatu negara tidak akan terbentuk karena membentuk suatu negara dibutuhkan rasa persatuan. Ilustrasi-ilustrasi tersebut memperlihatkan anugerah yang patut kita syukuri.

Indah rasanya jika kita dapat mensyukuri apa yang ada di dunia ini. Di waktu kita merasa gembira, kita dianugerahi ekspresi tertawa. Saat kita merasa sedih, kita dianugerahi ekspresi menangis. Tidak ada yang salah ketika kita mengekspresikan suasana hati kita. Hanya bagaimana kita harus menyikapinya. Ketika kita gembira, ingatlah bahwa itu merupakan suatu rezeki yang harus dibagikan kepada orang lain, bukan untuk menyombongkan diri. Begitu juga ketika kita merasa sedih, berbagilah karena hal itu sesungguhnya merupakan sebuah rezeki berupa kesempatan untuk memperoleh pelajaran hidup. Ya, tidak ada manusia yang tidak lepas dari apa yang disebut pelajaran hidup.

So, sikapilah dengan benar ketika kita mengalami sebuah pelajaran hidup. Terutama dalam hal rasa & perasaan. Karna obat dari semua itu tidaklah mudah. Saat sedih ingatlah bahwa kita makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Berbagilah dengan orang lain atau dengan Tuhan. Jangan sebut dia manusia jika tidak mau saling berbagi. Dan jangan sebut Tuhan itu ada jika kita tidak berbagi apa yang kita alami padaNya. Bedanya, manusia dapat memberi solusi secara langsung sedangkan Tuhan secara tidak langsung atau melalui perantara, entah itu melalui manusia atau melalui suatu perantara. Namun, tidak dipungkiri bahwa keduanya merupakan sesuatu yang nyata.

Satu hal yang pasti dari Tuhan bahwa, ''Tuhan mengerti batas kemampuan manusia, jadi Tuhan tidak akan memberikan pelajaran hidup yang di luar batas kemampuan manusia''. Percayalah, ketika kita memperoleh sebuah pelajaran, hal itu pasti dapat kita selesaikan dengan saling berbagi. Berbagilah.

''Hidup itu sebenarnya memiliki seribu jalan yang gelap. Kita hanya perlu sepercik cahaya guna mengetahui jalan-jalan yang terhampar untuk kemudian menentukan pilihan kemana jalan yang harus kita tempuh''.

*Lion's Spirit-SAI

Sabtu, 28 November 2009

Just words..

Berikanlah kepadaku, segala kebebasan.

Untuk mengetahui segala hal di Bumi ini.

Untuk mengetahui arti sebutir nasi dan setetes air.

Untuk mengetahui kesucian dan kedurhakaan.

Untuk mengetahui keingkaran dan kebenaran.

Dan segala hal yang hakiki. Agar aku dapat berbuat sebagaimana seorang manusia.

Yang penuh cipta, rasa, dan karsa.

*Inspirational words from my father, Riswandha Imawan.

Jumat, 27 November 2009

My mind about Universe


Akhir-akhir ini saya sangat tertarik dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan Astronomi, Antariksa, Luar Angkasa, dan sejenisnya. Jujur, saya tersugesti oleh film kontroversial 2012 yang menggambarkan situasi bumi hancur karena berbagai macam bencana alam. Dari situlah ketertarikan saya mengenai Antariksa dan menginspirasi saya untuk mempelajarinya. Rasa penasaran saya dimulai dengan pertanyaan yang sangat simple, “Sebenarnya ada apa di luar sana?”. Maka, saya semakin gemar mengumpulkan informasi mengenai Tata Surya. Saya pun gemar menyaksikan acara Naked Science dari National Geographic Channel. Oke, disini saya tidak akan menjelaskan atau mereview tentang film 2012 (malas gan!haha). Saya hanya akan menceritakan pemikiran saya mengenai hal-hal yang berbau Antariksa.

Baik, kita semua tahu bahwa kita hidup di bumi. Kita semua hidup dalam tatanan galaksi Bima Sakti yang terdapat Matahari, Merkurius, Venus, Bumi, Mars hingga Uranus. Matahari sebagai pusat tata surya dan dikelilingi oleh planet-planet tersebut termasuk Bumi. Segala sesuatunya tidak berubah, sangat sistematis. Sehingga pada saat itu manusia menganggap sesuatu yang di luar sana sebagai kewajaran dan merupakan sebuah kemustahilan untuk berada di luar sana. Namun, anggapan seperti itu pecah saat seorang astronot asal Amerika Serikat, Neill Amstrong berhasil menjejakkan kakinya di satelit bumi yaitu bulan sebagai manusia pertama. Hal ini sempat menimbulkan kontroversi, khususnya para ilmuwan astronomi. Namun, justru peristiwa itulah yang seolah-olah memberikan pandangan baru bahwa ada “sesuatu” di luar sana. Perkara hal itu benar adanya atau tidak, peristiwa tersebut member pandangan baru bahwa tidak mustahil bagi manusia untuk menjelajahi luar angkasa.

Peristiwa tersebut juga menginspirasi para peneliti luar angkasa untuk mengirimkan pesawat ulak alik berawak maupun tidak berawak dalam menjelajahinya. Yang terbaru, dijelaskan bahwa ditemukan planet yang memungkinkan adanya suatu organisme kehidupan dan planet itu adalah Mars. Dalam NGO dijelaskan bahwa Mars memiliki kemiripan dengan Bumi, dimana ada kutub di utara dan selatannya terdapat uap air yang memungkinkan adanya suatu organisme kehidupan. Penemuan itu membuat ilmuwan beranggapan di Mars mungkin akan menjadi planet yang akan ditinggali jika nanti Bumi mengalami kehancuran! Dan ilmuwan juga sudah menyiapkan proyek mengirimkan manusia untuk menjejakkan kakinya di sana, persis dengan apa yang dilakukan di bulan.

Luar biasa pemikiran dari para ilmuwan tersebut. Imajinasi mereka tinggi. Gila tapi bukan mustahil! Coba pikir, Galaksi Bima Sakti ada gugusan 8 planet. Apakah dari 8 planet tersebut hanya Bumi yang dapat ditinggali? Begitu istimewakah Bumi. Bagaimana dengan 7 planet lainnya, apakah tidak mungkin ada kehidupan? Apakah Tuhan berbuat sia-sia dengan menciptakan planet-planet tersebut? Tidak. Tuhan menciptakan sesuatu pasti ada maksudnya. Namun, akal pikiran kita tidak mampu menyaingi maksud dan kebesaranNya. Bumi yang kita tinggali cuma ada di galaksi Bima Sakti. Terdapat milyaran galaksi di luar sana dan milyaran planet di luar sana. Dalam NGO, dijelaskan sampai saat ini banyak beribu-ribu planet yang belum dapat diungkap di dalam maupun di luar solar system. Tuhan tidak mungkin hanya menciptakan beribu-ribu galaksi dan berjuta-juta planet tanpa adanya suatu organisme kehidupan.

Saya tidak memiliki teori mengenai dasar adanya kehidupan di luar Bumi. Saya hanya mempunyai pandangan bahwa Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang sia-sia. Mungkin kebenaran itu semua akan terungkap saat datangnya The End of The Day. Haha, dibahas juga 2012. Relax guys! Tuhan dalam proses penciptaan kita, pernah berfirman, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui daripada kalian”. Kalian disini merujuk kepada makhluk ciptaanNya. So, about “The End Of The Day” versi peramal di tahun 2012, pasrah aja! Manusia, tumbuhan, hewan, malaikat, setan, dan semua organisme tidak akan mampu menjawab rahasia dan kebesaranNya. Terpenting adalah menjadi manusia baik setiap saat dan belajar dari kesalahan. Haha, sok bijak nih. Sudahlah, sekian! (tidak punya “ending” untuk notes ini!hahaha..)