Selasa, 13 Juli 2010

Campur Tangan Elit !

Oleh : Satria Aji Imawan

Alih-alih memberikan keuntungan, justru nyawa melayang. Ungkapan ini cukup kiranya menggambarkan tragedi meledaknya tabung gas 3 kilogram di beberapa daerah. Situasi ini diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak tegas mengevaluasi kebijakan elpiji.

Apabila kita meruntut lebih jauh, persoalan ini tidak lepas dari pengelolaan sumber daya dalam politik. Status pertamina sebagai badan usaha di bawah negara menjadi lahan empuk bagi para elit untuk memutar uang sebagai instrumen perekrut kekuasaan. Terdapat beberapa pokok yang harus diperhatikan untuk dapat mengurai persoalan ini.

Pertama, kebijakan tabung 3 kilogram pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintahan periode lalu (SBY-JK). Masih terngiang dalam ingatan kita bahwa kebijakan ini mendapat banyak kritikan karena memaksa rakyat merubah penggunaan kayu menjadi gas. Sayangnya perubahan ini terlalu drastis, banyak masyarakat tidak memahami penggunaan tabung gas dikarenakan sosialisasi yang kurang.

Kedua, kebijakan tabung gas 3 kilogram banyak dinilai sangat profit oriented. Hal ini terlihat dari rendahnya standar setiap produk.

Ketiga, kebijakan ini menguntungkan elit. Politik dapat dipahami dengan melihat kemampuan aktor-aktor dalam menguasai sumber daya yang ada guna menghasilkan uang sebagai instrumen politik. Pemahaman ini membawa kita pada pengertian bahwa politik tidak bisa lepas dari bisnis. Indikasinya cukup jelas dengan dipilihnya kebijakan tabung 3 kilogram dibandingkan pengembangan energi alternatif seperti menggunakan panas bumi (metana).

Rentetan persoalan ini berawal dari buruknya proses pembuatan kebijakan publik. Pemerintah tidak dapat berbuat banyak karena kepentingan bisnis melingkupi hulu hilir LPG 3 kilogram. Sekali tiga uang DPR tidak banyak berkomentar terkait persoalan tersebut. Realitas ini menunjukkan bahwa baik DPR maupun pemerintah memiliki satu suara demi kepentingan yang sama.

Persoalannya, rakyat lagi-lagi dirugikan dengan kepentingan-kepentingan elit. Situasi ini dapat diredam apabila pembuatan kebijakan bersifat partisipatoris. Artinya, kebijakan melibatkan masyarakat dari proses perumusan hingga proses evaluasi.

Rasanya cukup sulit mengharapkan proses transparansi dalam tubuh pertamina maupun badan usaha milik negara lainnya. Lihat saja, bagaimana kasus-kasus pada lembaga-lembaga pemerintah atau di bawah pemerintah menyeruak akhir-akhir ini. Masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus dalam Departemen Pajak yang melahirkan aktor Gayus Tambunan hingga kasus tabung elpiji.

Satu-satunya harapan adalah memperbaiki proses pembuatan kebijakan dengan memperkuat kelompok-kelompok masyarakat, LSM-LSM, maupun pengusaha-pengusahan kecil menengah. Ketiga aktor ini seringkali menjadi jalur untuk mensukseskan kebijakan publik, namun seringkali merekalah yang menjadi sasaran bidak pertama apabila ada kegagalan kebijakan.

Posisi mereka harus diperkuat untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan diikutkan dalam proses pembuatan kebijakan yang partisipatif. Proses terbuka ini akan melahirkan pemerintahan yang akuntabel, dipercaya, dan transparan.

Kerugian ini tidak hanya milik publik tetapi juga menjadi milik elit. Bungkamnya para wakil rakyat terhadap persoalan ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam representasi politik. Masih ingat dalam ingatan kita, bagaimana para wakil rakyat lolos dengan suara terbanyak pada Pemilu lalu. Apabila benar adanya maka dapat dikatakan para wakil rakyat mengkhianati nurani yang memilihnya dan lebih berpihak kepada elit.

Rakyat bukanlah kelinci percobaan untuk kebijakan yang bersifat trial and error. Kebijakan yang membebani rakyat bahkan hingga menghilangkan nyawa merupakan kebijakan salah alamat. Ingat, konstitusi kita menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan bagi demokrasi Indonesia. Kebijakan partisipatif dapat menjadi alternatif guna menyambut keraguan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar